Jumat, 04 Juli 2014

Makalah tentang perspektif konflik mata kuliah kepemimpinan pendidikan


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
            Pemikiran perspektif konflik menekankan pada adanya perbedaan pada diri individu dalam mendukung suatu sistem sosial. Menurut perspektif konflik masyarakat terdiri dari individu yang masing-masing memiliki berbagai kebutuhan (interests) yang sifatnya langka. Keberhasilan individu mendapatkan kebutuhan dasar tersebut berbeda-beda, hal ini dikarenakan kemampuan individu untuk mendapatkannya pun berbeda-beda. Persaingan untuk mendapatkan kebutuhan itulah yang akan memicu munculnya konflik dalam masyarakat Perspektif ini beranggapan bahwa masyarakat dibentuk oleh persaingan kelompok-kelompok dalam menguasai sumber-sumber yang bersifat langka. Individu dibentuk oleh institusi sosial dan posisi kelompok-kelompok mereka dalam masyarakat. Bagi perspektif ini perubahan sosial merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dan selalu terjadi dalam setiap masyarakat.perspektif ini lebih menekankan kepentingan, kekuasaan, dominasi, konflik, dan pemaksaan.
B.     RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas maka yang akan di bahasa dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
a)      Apa  perspektif konflik
b)      Siapa tokoh – tokoh perspektif konflik







BAB II
PEMBAHASAN
A.    PERSPEKTIF KONFLIK
            Teory konflik di katagorikan didalam kelompok sosiologi makro. para teoretis konflik melihat masyarakat berada dalam konflik yang terus-menerus didalam kelompok atau kelas  yang dominan dan perjuangan meraih kekuasaan dan penghasilan sebagai suatu proses yang berkesinambungan. Perspektif ini lebih menekankan pada peranan kekuasaan (tidak mengakui kesamaan dalam suatu masyarakat) Seperti halnya dalam sekolah, pendidikan merupakan variabel kelas atau status. Pendidikan  akan mengantar sesorang untuk mendapatkan status yang tinggi yang menuju kearah konsumeris yang membedakan dengan kaum buruh. Menurut perspektif konflik masyarakat terdiri dari individu yang masing-masing memiliki berbagai kebutuhan (interests) yang sifatnya langka. Keberhasilan individu mendapatkan kebutuhan dasar tersebut berbeda-beda, hal ini dikarenakan kemampuan individu untuk mendapatkannya pun berbeda-beda. Persaingan untuk mendapatkan kebutuhan itulah yang akan memicu munculnya konflik dalam masyarakat.
B.     TOKOH – TOKOH PEMIKIR TEORY KONFLIK
 Perspektif konflik secara luas terutama didasarkan pada karya Karl Marx (1818-1883), Wright Mills (1956-1959), Lewis Coser (1956), Aron (1957), Dahrendorf (1959, 1964), Chambliss (1973), dan Collines (1975) dan penganut teori konflik lainnya Bowles, Gintis, Louis Althusser, Pierre Bourdieu, Paulo Freire, dan Ivan Illich.berikut beberapa  pokok – pokok pikiran penganut teory konflik.
1)      Ralf  Dahrendorf , asumsi utama dari perspektif ini ada empat, yaitu;
a)      Setiap masyarakat tunduk pada proses perubahan;
b)      Disensus dan konflik terdapat di mana-mana;
c)      Setiap unsur masyarakat memberikan sumbangan pada disintegrasi dan perubahan masyarakat;
d)     Setiap masyarakat didasarkan pada paksaan beberapa orang anggota terhadap anggota lainnya.
2)      PauloFreire
            Filsafat pendidikan Freire bertumpu pada keyakinan, manusia secara fitrah mempunyai kapasitas untuk mengubah nasibnya. Dengan demikian, tugas utama pendidikan sebenarnya mengantar peserta didik menjadi subyek. Untuk mencapai tujuan ini, proses yang ditempuh harus mengandaikan dua gerakan ganda: meningkatkan kesadaran didik sekaligus berupaya mentranformasi struktur sosial yang menjadikan penindasan itu berlangsung. Sebab, kesadaran manusia itu berproses secara dialektis antara diri dan lingkungan. Ia punya potensi untuk berkembang dan mempengaruhi lingkungan, tetapi ia juga bisa dipengaruhi dan dibentuk oleh struktur sosial tempat ia berkembang.Idealitas itu bisa dicapai jika proses pembelajaran mengandaikan relasi antara guru/dosen dan peserta didik yang bersifat subyek-subyek, bukan subyek- obyek.dalam pandangan Freire,tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi kepada anak didik, tetapi mereka harus memerankan dirinya sebagai perkerja kultural(cultural workers).Jika pendidikan dipahami sebagai aksi kultural untuk pembebasan, maka pendidikan tidak bisa dibatasi fungsinya hanya sebatas area pembelajaran di sekolah. Ia harus diperluas perannya dalam menciptakan kehidupan publik yang lebih demokratis. dalam pandangan Freire harus ada semacam kontekstualisasi pembelajaran di kelas. Paulo Freire menyebut proses pendidikan selama ini sebagai “sistem bank”. Dalam sistem ini guru menjadi subyek yang memiliki pengetahuan yang diisikan pada murid. Murid adalah “cawan” dan obyek yang menjadi tempat deposito “pengetahuan” sang guru. Dalam proses belajar yang seperti ini, jelas tidak terjadi komunikasi “dua arah” antara guru dan murid. Praktik pendidikan seperti inilah yang menjadi model pelanggengan akan struktur penindasan, yaitu yang tertindas(murid dan yang menindas (guru).Oleh karena itu, Paulo Freire menawarkan konsep “Problem Posing Education” yang akan memungkinkan munculnya konsientasi, yaitu proses yang melibatkan antara guru dan murid sebagai subyek dalam pendidikan, mereka disatukan oleh subyek yang sama. Tidak ada lagi yang memikirkan dan yang difikirkan, tetapi berfikir bersama.Dalam “Problem posing education” ini, guru belajar dari murid dan murid belajar dari guru. Guru menjadi rekan dan mitra yang melibatkan diri dan mampu merangsang daya pemikiran kritis murid-muridnya.
3)      Bowles & Gintis
            Samuel Bowles dan Herbert Gintis (1976) adalah cara para ekonom politik di Amerika Serikat yang menganalisis tujuan persekolahan dalam masyarakat Amerika. Mereka berdua menulis buku berjudul Schooling in capitalist America. Teori Bowles dan Gintis mengatakan bahwa pendidikan merupakan sarana untuk mengekalkan dominasi, berlaku baik bagi masyarakat Barat yang liberal maupun pada masyarakat blok Timur yang sosialistis. Meskipun demikian, analisis Gintis selanjutnya dialamatkan kepada sistem pendidikan yang berlaku di Amerika Serikat. Prinsip pendidikan sebagai sarana untuk mengekalkan dominasi biasa disebut juga “reproduksi langsung” atau direct reproduction, yang dalam arti khusus berarti usaha melanjutkan dan mengekalkan sistem kemasyarakatan yang kapitalistis.
Sistem pendidikan yang berlangsung dalam sekolah tak berbeda dengan yang terjadi di lapangan kerja dalam masyarakat kapitalis, yaitu terdapat upaya penekanan pada disiplin, ketekunan, ketepatan, ketergantungan pada atasan, dan lain-lain bukan kepada kemandirian dan kreativitas.[1]
[1]
4)      Louis Althuser
            Analisis Althuser sejalan dengan analisis Bowles dan Gintis, yaitu bahwa pendidikan bertujuan untuk mempertahankan dan memperkuat hubungan produksi kapitalis berupa hubungan eksploitasi. Bedanya adalah bahwa Althuser memandang pendidikan sebagai perlengkapan Negara pada masyarakat kapitalis.Pada teori konflik yang tradisional terdapat apa yang dinamakan sistem ekonomi sebagai struktur dasar (infrastruktur) dan sistem-sistem kehidupan lain seperti politik, hokum, pendidikan, kebudayaan, pemerintahan negara sebagai superstruktur.Althusser menunjukkan bahwa pemberi dan penentu makna yang mengajari masyarakat untuk dan berelasi sosial adalah kelas penguasa yang memiliki kekuasaan hegemoni tafsir makna dan tafsir hubungan antar anggota. Tafsir hegemoni ini disemburkan dalam anggota masyarakat lewat media massa, saluran penerangan hingga menjadi kesadaran masyarakat yang ideologis semu palsu. Karena masyarakat mengira itu adalah kesadarannya padahal kesadaran palsu hasil manipulasi ideologis kelas pemilik dan hegemoni.Kesadaran palsu ideologis ini dilanggengkan lewat lembaga-lembaga pendidikan, birokrasi, aparat keamanan, propaganda media massa yang membentuk terus-menerus kesadaran warga hingga sama dengan kesadaran penguasa pemilik tafsir makna. Ini sebabnya kesadaran seolah-olah demokratis padahal semu dan palsu. Bisa awet abadi karena pusat pikiran alternatif dalam mengkonstruksi sendiri makna dibungkam.
5)      Pierre Bourdieu          
            Bourdieu mengembangkan konsep pertimbangan budaya (cultural arbitraries) setiap masyarakat mempunyai pertimbangan budaya sendiri yang tidak bisa dijelaskan dengan kemampuan logika. Ia menolak teori bahwa pencapaian pendidikan yang lebih tinggi dari kelas menengah dan atas adalah akibat dari superioritas atau perbedaan genetika, dan mengajukan argumen bahwa sesungguhnya hal tersebut terjadi ditentukan secara social oleh sifat-sifat kultural yang menguntungkan anak-anak golongan seperti itu yang didapatkan di rumah dan pada saat mereka mulai bersekolah.
            Pertimbangan budaya itu diwariskan melalui sosialisasi. Dalam masyarakat yang heterogen, terdapat banyak pola pertimbangan budaya milik kelas sosial yang dominan.Bourdieu menganjurkan supaya reformasi pendidikan memusatkan perhatiannya pada memberikan capital cultural kepada golongan kaum pekerja atau golongan masyarakat ekonomi bawah.
6)      Ivan Illich
            Ivan Illich memiliki gambaran yang lebih ekstrim dalam karyanya Deschooling Society (1982) atau “Bebas dan Sekolah”. Dikatakan oleh Illich bahwa sekolah adalah tempat anak-anak ditekan dan dipaksa untuk mempelajari hal-hal yang tidak mereka kehendaki atau senangi, padahal belajar yang baik adalah yang berlangsung dalam suasana bebas yang memungkinkan pelajar sendiri memilih pelajaran yang disukainya. Selanjutnya Illich menyarankan agar sistem persekolahan dibubarkan saja karena tidak efektif.
            Perspektif ini beranggapan bahwa masyarakat dibentuk oleh persaingan kelompok-kelompok dalam menguasai sumber-sumber yang bersifat langka. Individu dibentuk oleh institusi sosial dan posisi kelompok-kelompok mereka dalam masyarakat. Bagi perspektif ini perubahan sosial merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dan selalu terjadi dalam setiap masyarakat. Konsep-konsep yang ditekankan dalam perspektif ini adalah kepentingan, kekuasaan, dominasi, konflik, dan pemaksaan.














BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
             Jadi perspektif  konflik bersifat makro dan konflik dalam  masyarakat dibentuk oleh persaingan kelompok - kelompok dalam menguasai sumber-sumber yang bersifat langka serta Individu dibentuk oleh institusi sosial dan posisi kelompok-kelompok mereka dalam masyarakat kepentingan, kekuasaan, dominasi, konflik, dan pemaksaan setiap individu atau kelompok.












DAFTAR PUSTAKA
Sanderson, Stephen K.2003. Makro Sosiologi.jakarta : PT Raja Grafindo persada.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar